Selasa, Desember 18, 2007

Fraksinasi Dosis Radiasi

Fraksinasi Dosis Radiasi
Iwan Heryawan[1], Arif Jauhari[2]


Aspek Fisika-Biologi Dalam Radioterapi ( Radiobiologi)
Sebagai dasar digunakannya terapi radiasi adalah terdapatnya perbedaan efek radiasi pada tumor dan jaringan normal disekitarnya. Perbedaan ini dinyatakan dengan therapeutic ratio (TR). Respon terhadap radiasi pada jaringan normal dan jaringan tumor berbeda oleh karena didasarkan pada beberapa fenomena biologis sel (4R), yaitu:
  1. Reparasi sel, lalah proses sel untuk melakukan perbaikan kerusakan DNA akibat radiasi. Kerusakan DNA karena radiasi umumnya diperbaiki dalam waktu singkat. Derajat perbaikan bervariasi dari jaringan satu ke jaringan lainnya. Kebanyakan tumor ganas mengalami gangguan dalam melakukan proses ini. Sehingga pada radiasi berikutnya terjadi kematian/kerusakan sel tumor yang lebih banyak dari jaringan normal yang telah mengalami reparasi pada waktu interval radiasi.
  2. Reoksigenisasi sel, Kebutuhan nutrisi akan meningkat seiring dengan pertumbuhan sel. Hal ini dapat dipenuhi oleh sel normal yang memiliki vaskularisi (suplai darah) yang baik. Pada sel tumor yang vaskularisasinya buruk, apalagi cenderung hipoxia. Maka tumor yang hipoxia tersebut akan 2-3 kali lebih radioresisten dibanding sel yang oksigenisasinya baik. Radiasi mengakibatkan berkurangnya sebagian massa tumor sehingga terjadi perbaikan vaskularisasi/oksigenisasi pada sel tumor yang tersisa dan akan menjadi lebih sensitif terhadap radiasi berikutnya.
  3. Redistribusi sel, Sensitifitas sel terhadap radiasi bervariasi tergantung pada fase sel mana yang mengalami radiasi. Fase yang sensitif adalah fase mitosis (fase sel membelah diri). Setelah populasi sel yang radiosensitif mati, maka dalam masa interval radiasi, sejumlah sel pada fase sintesis (fase memperbanyak materi genetik/DNA dan yang bersifat radioresisten) masuk ke dalam aktifitas proliferasi sel yang bersifat radiosensitif. Sehingga sel-sel akan mati pada radiasi berikutnya. Karena kebanyakan tumor mempunyai aktifitas proliferasi yang lebih tinggi dari jaringan normal asalnya, maka fenomena ini lebih dimiliki oleh populasi sel tumor.
  4. Repopulasi sel, Merupakan sifat sel untuk melanjutkan proses proliferasi dalam masa radiasi. Setelah radiasi, sel-sel mati akan digantikan oleh sel-sel yang masuk dalam siklus sel, tentunya setelah berada dalam fase istirahat melalui proses rekruitmen. Proses ini akan berjalan cepat pada jaringan normal yang proliferasinya lebih tinggi dan pada jaringan tumor ganas. Repopulasi jaringan normal lebih besar dibandingkan repopulasi jaringan tumor.

Berdasarkan hal tersebut maka pemberian dosis terapi radiasi pada umumnya diberikan dalam fraksi-fraksi dengan interval antar fraksi dan besar dosis per fraksi yang bervariasi sehingga memperoleh TR yang optimal.

Fraksinasi Dalam Terapi Radiasi
Fraksinasi dalam terapi radiasi ditujukan untuk meningkatkan efek radiasi pada jaringan tumor dan untuk menurunkan efek radiasi pada jaringan normal. Efek samping pada jaringan normal dapat terjadi, baik akut ataupun lanjut (kronis). Efek samping akut terkait dengan singkatnya waktu fraksinasi, semakin singkat waktu total radiasi semakin tinggi efek samping akut radiasi. Sedangkan efek samping lanjut berkaitan dengan besarnya dosis dalam tiap fraksi, semakin tinggi dosis per fraksi semakin tinggi efek samping lanjut.
Dalam penerapannya, sistem fraksinasi dibuat dengan skema yang bervariasi, yang didasarkan pada skema dosis per fraksi, jumlah fraksi, interval waktu fraksi, ataupun berdasarkan perubahan dosis totalnya. Skema fraksinasi tersebut kemudian dikenal dengan istilah-istilah sebagai berikut:

  1. Conventional fractionation, yaitu: fraksinasi dengan jumlah fraksi 5 kali per minggu. Dosis per fraksi yang diberikan 1 x setiap hari biasanya berkisar antara 1,8 Gy – 2 Gy.
  2. Hypofractionation, yaitu: fraksinasi dengan jumlah fraksi lebih sedikit dari konvensional (1–4 kali per minggu) tetapi dosis per fraksi yang diberikan lebih besar (3–5 Gy) untuk mencapai dosis total yang sama dengan fraksinasi konvensional.
  3. Hyperfractionation, yaitu: fraksinasi yang jumlah fraksinya 2 x lebih banyak dari konvensional (2 fraksi per hari) dengan jumlah unit dosis per fraksi lebih kecil yaitu, 1–1,15 Gy per fraksi. Interval antar fraksi: 8–10 jam setiap hari. Dosis total yang diberikan sedikit lebih meningkat dibandingkan fraksinasi konvensional.
  4. Accelerated Hyperfractionation, yaitu: skema Hyperfractionation yang interval antar fraksinya dipercepat (6 jam) dengan dosis per fraksi yang ditingkatkan (1,25–1,5 Gy per fraksi). Dengan skema ini dosis total yang diberikan sama dengan dosis total pada fraksinasi konvensional.

Pemilihan skema fraksinasi yang akan diterapkan dan digunakan tentunya dengan mempertimbangkan beberapa factor, seperti: jenis karakteristik sel tumor berdasarkan hasil pemeriksaan patologi-anatomis, keadaan umum fisik penderita, dan kondisi sosial dari pasien yang bersangkutan.
Dengan mempertimbangkan aspek interaksi jaringan tubuh terhadap radiasi pengion serta didasari oleh aspek radiobiologis, maka dalam perencanaan teknik radioterapi dosis total yang ditetapkan umumnya diberikan dengan sistem fraksinasi. Dengan pemberian secara fraksinasi diharapkan therapeutic ratio yang optimal dapat dicapai, sehingga prinsip dalam radioterapi untuk mematikan sebanyak mungkin sel tumor/kanker dapat dicapai dengan tetap melindungi semaksimal mungkin jaringan sehat disekitarnya.C

[1] Radiografer pada Instalasi Radioterapi RS. Cipto Mangukusumo, Jakarta.
[2] Peneliti pada Pusat Kajian Radiografi dan Imajing, Puskaradim, Jakarta.

[+/-] Selengkapnya...

Pesawat Simulasi DTI

PESAWAT SIMULASI DIGITAL THERAPY IMAGING (DTI)
Fitrus Ardoni[1], Arif Jauhari[2]





Pendahuluan
Aplikasi teknologi digital dalam proses pencitraan sinar-x pada pemeriksaan radiologi, umumnya dimanfaatkan untuk tujuan efisiensi faktor eksposi, sekaligus untuk meningkatkan kualitas gambar radiografi. Kebutuhan akan citra radiografi yang berkualitas ternyata tidak hanya dibutuhkan untuk proses keperluan diagnosis, akan tetapi juga dibutuhkan dalam proses simulasi penyinaran pada perencanaan pengobatan radioterapi. Proses simulasi penyinaran pada radioterapi menghasilkan salah satu output yang berupa citra radiografi (foto terapi) yang dihasilkan oleh pesawat simulator Radioterapi.
Dalam radioterapi energi yang digunakan umumnya berkisar antara 50 KV sampai 10 MV, yang ditujukan untuk mematikan sel-sel ganas (kanker), namun dalam pelaksanaannya tidak hanya sel-sel ganas yang terkena radiasi, tapi jaringan sehat sekitarnya juga akan ikut terkena, Maka untuk meminimalisasi jaringan sehat sekitarnya dan memaksimalkan pada sel-sel ganasnya diperlukan suatu perencanaan penyinaran yang tepat (treatment planning). Salah satu tahapan penting dalam perencanaan penyinaran radioterapi adalah simulasi.
Proses pencitraan sinar-x pada pesawat simulator radioterapi, baik dalam bentuk fluoroscopy maupun radiografi saat ini telah mulai dilengkapi dengan teknologi digital yang disebut Digital Theraphy Imaging (DTI).

Prinsip Pencitraan Pada Simulasi Radioterapi
Simulasi penyinaran radioterapi pada dasamya adalah proses pencitraan sinar-x secara fluoroskopi yang seolah-olah melakukan teknik penyinaran seperti dengan pesawat treatment radioterapi yang sesungguhnya. Hal ini diperlukan agar teknik penyinaran yang akan diberikan pada pasien benar-benar mencapai sasaran secara optimal dan akurat.
Dari proses simulasi ini didapatkan beberapa parameter untuk penyinaran, seperti; luas lapangan penyinaran, sudut dan arah sumber penyinaran, blokade area yang harus dilindungi, teknik penyinaran, jarak sentrasi dan sudut kolimasi


Hal-hal yang harus dimiliki sebagai syarat minimum dari pesawat simulator adalah; memiliki gantry (C-arm) dengan x-ray tube dan Image Intensifier yang terpasang berhadapan serta dapat diputar 360 derajat dari sumbunya, memiliki kolimator yang dapat diputar 360 derajat terhadap axis sentrasi, memiliki indikator penunjuk jarak Source Axis Distance (SAD), memiliki meja pemeriksaan yang rata, dapat diatur naik-turun (vertical), maju-mundur (longitudinal), digeser kiri-kanan (lateral) dan dapat diputar dari axis sejauh 360 derajat (rotation).
Prinsip dasar dari proses pencitraan dalam simulasi adalah; set-up posisi simulasi (posisi pasien), lalu dilakukan fluoroskopi terhadap pasien pada perkiraan lokasi penyinaran. Gambaran fluoroskopi diteruskan ke Image Intensifier, lalu keperangkat sirkuit elektronik dan ditampilkan dimonitor fluoroscopy (cctv). Kemudian akuisisi posisi simulasi, dan selanjutnya dilakukan eksposi radiografi yang menghasilkan foto simulator (foto terapi).

Digital Therapy Imaging pada Pesawat Simulator

Digital Therapy Imaging sesungguhnya merupakan perangkat komputer tambahan yang dapat dirangkaikan dengan perangkat pencitraan pada umumnya. Pencitraan gambar fluoroskopi akan tampil selama eksposi dilakukan. Dan bila eksposi dihentikan, gambar tersebut berikut nama dan identitas pasien menjadi tampilan gambar diam (freezed) pada title bar. Tampilan tersebut biasa disebut dengan Last Image Hold (LIH).
Gambaran freezed dapat disimpan ke dalam data base (hard disk) bersamaan dengan parameter posisi simulasi dan data pasien. Selanjutnya bila diperlukan, sistem ini dapat menampilkan kembali gambar yang telah tersimpan untuk keperluan pengaturan (manipulasi) gambar, kontras dan ketajaman sesuai dengan yang diinginkan. Aplikasi ini juga memungkinkan untuk menambahkan teks atau gambaran garis-garis bentuk blok, sehingga informasi yang ditampilkan menjadi lebih optimal.

Secara prinsip cara kerja dari digital therapy imaging sama dengan pesawat simulator konvensional umumnya, yaitu mengambil gambaran dari objek dengan proses fluoroscopy. Pada digital therapy imaging ini gambaran hasil fluoroscopy bisa disimpan dan bisa diatur kontras dan densitas gambarannya serta bisa ditambahkan keterangan-keterangan data pasien dan garis-garis bentuk blok. Hasil simulasi (foto terapi) tidak selalu dicetak di film, tetapi lebih sering dicetak pada kertas biasa. Hal ini tentunya secara ekonomis sangat menguntungkan dan juga mempercepat waktu pelaksanaan proses simulasi radioterapi.
Kelebihan Digital Therapy Imaging dibandingkan dengan pesawat simulator konvensional adalah:
  1. Dari segi dosis radiasi terhadap pasien. Dengan digital therapy imaging dapat mengurangi waktu (durasi) fluoroskopi, sehingga dapat mengurangi dosis sinar-x yang diterima pasien dalam proses simulasi.
  2. Dari segi ekonomi. Digital therapy imaging memiliki nilai efisiensi secara ekonomi, karena hampir tidak diperlukan lagi penggunaan film radiografi. Hasil pencitraan berikut data pasien dan parameter simulasi bisa dicetak pada lembarankertas melalui mesin printer.
  3. Digital therapy imaging juga menyediakan fesilitas Digital Image Communication in Medicine (DICOM). Selanjutnya hasil simulasi dapat langsung ditransfer ke unit kerja terkait melalui jaringan Local Area Network (LAN) atau melalui sistem Picture Arsips Communication System (PACS).

Komponen dari Digital Therapy Imaging (DTI)
DTI terdiri dari 2 kelompok fungsional:
  1. Sebagai komputer biasa yang berisi; processing unit; hardware computer eksternal; software computer untuk DTI.
  2. Sebagai perangkat keras akuisisi dan procesing data yang terletak di dalam komputer (Data Acquisition and Processing Hardware). C

[1] Radiografer pada Instalasi Radioterapi RS. Kanker Dharmais, Jakarta.
[2] Peneliti pada Pusat Kajian Radiografi dan Imajing (Puskaradim), Jakarta.

[+/-] Selengkapnya...

Rabu, Desember 12, 2007

Prinsip Kerja Pesawat Terapi Cobalt-60

PRINSIP KERJA PESAWAT TERAPI COBALT (CO60)
Supi Atmayati Ilam[1], Arif Jauhari[2]

Sekilas
Pesawat telelerapi ini menggunakan sumber radiasi CO60 yang memancarkan sinar gamma secara terus menerus sehingga baik digunakan untuk keperluan pengobatan penyakit kanker. Sumber (head source) CO60 berada pada gantry yang dapat diatur penyudutannya dari 00 - 3600. Pesawat ini dilengkapi dengan lampu kolimator dan fiber optic yang berfungsi untuk mendapatkan titik sentral dari luas lapangan penyinaran, mengatur jarak sumber ke obyek dengan mengubah ketinggian meja.

Prosedur Pemakaian

Sebelum meng ON kan pesawat, periksa dahulu apakah bagian belakang panel konsul (console panel) sudah terhubung dengan tepat ke mainframe melalui kabel khusus. Caranya, pertama-tama ON kan power pada mainframe sehingga lampu penunjuk langsung menyala, jika tidak maka tarik tombol emergency (darurat) yang berada pada control box, kemudian ubah console Key pada posisi I. Pada posisi normal semua lampu penunjuk akan menyala. Setelah itu konsul berbunyi bip dan menunjukkan pesawat dalam kondisi slap seperli ditunjukkan oleh kedipan lampu ZERO RESET.
Lampu tombol penunjuk dan display dapat diuji coba dengan menekan kontak Front Panel Test yang terletak di sisi kanan konsul. Uji coba ini mengakibatkan semua lampu menyala dan semua display menunjukkan angka 88.88 serta system alarm berbunyi. Tekan tombol zero reset (RAZ) dan lepaskan maka T2 menghitung dalam mode up yang dipercepat ke dalam waktu 01.00. Ketika waktu tercapai panel konsul berbunyi bip dan tombol penunjuk kesalahan menyala selama fraksi waktu sedetik lamanya.
Jika penunjuk waktu tidak bekerja dan bekerja relatif cepat dan tanpa berhenti, maka panel konsul tidak dapat dioperasikan, Bila terjadi kesalahan, mallungsi atau penunjuk waktu T2 tombol kiri dan kanan mulai berkedip dan akan padam jika salah satunya ditekan.

Petunjuk Pelaksanaan Radioterapi
Pertama tekan tombol FIXED, sehingga tombol tersebut menyala dan lampu lainnya berhenti berkedip. Masukkan waktu radioterapi dalam satuan menit ke digital keyboard. Tombol A digunakan untuk membatalkan dan tombol V untuk validasi waktu radioterapi. Setelah waktu dimasukkan melalui keyboard, untuk prases lebih jauh tombol V perlu ditekan, maka indikator READY akan menyala.
Jika indikator tersebut tidak menyala, periksalah pintu ruang radioterapi ataupun sistem lain apakah sesuai dengan indikator yang menyala. Selama persiapan radioterapi, setiap waktu tombol reset dapat ditekan untuk membatalkan waktu yang telah dimasukkan ke digital keyboard dan selanjutnya sistem kembali ke awal paragraf ini.


Permulaan Radioterapi
Ubahlah power up key searah putaran jam (yaitu, pindah dari posisi I ke posisi treatment dan tetap diposisi ini selama 1 sampai 2 detik yang ditandai oleb indikator on treatment menyala kemudian lepaskan key yang akan kembali ke posisi I.
Sumber kemudian berpindah dari posisi penyimpanannya menuju ke posisi penyinaran. Posisi ini ditunjukkan oleh 3 buah lampu: source in storage, source in transfer, source out.
Jika transfer terakhir lebih dari 3 detik, panel konsul menunjukkan keadaan malfungsi dan radioterapi akan berhenti.
Selama sumber meninggalkan posisi penyimpanannya, T2 memulai perhitungan. Saat sumber mencapai posisi penyinaran T1 mulai berhitung.
Jika salah satu tombol INTERRUPTION atau TERMINATION ditekan selama sumber berpindah, maka sistem pada panel konsul akan pindah dari kondisi INTERRUPTION atau TERMINATION.


Urutan Perlakuan
Kedua penunjuk waktu melanjutkan perhitungan waktu sampai satu dari 4 kemungkinan ini terjadi:
1. Normal termination: Tl telah mencapai Preset time.
2. Operators termination: tombol termination telah ditekan.
3. Interruption: tombol interruption telah ditekan.
4. Malfunction: selarna radioterapi berlangsung bunyi bip terdengar setiap 3 detik.
Dalam kasus akhir radioterapi yang normal, sumber dikembalikan ke posisi penyimpanannya. Jika waktu total untuk transfer kembali ke posisi penyimpanan melebihi 3 detik, panel konsul menunjukkan malfungsi. Dan jika panel konsul tidak kembali ke kondisi stand by (treatment termination), maka tombol zero reset akan berkedip.
Ketika radioterapi dihentikan dengan menggunakan tombol termination sumber kembali ke dalam penyimpanan. Pengukuran transfer waktu yang sama dibuat seperti pada awal radioterapi dan panel konsul berubah ke kondisi treatment terminalion. Suara bip yang lebih lama akan dipancarkan pada saat kondisi akhir tercapai.
Ketika radioterapi dihentikan dengan menggunakan tombol INTERRUPT console berubah ke kondisi berhenti: sumber dikembalikan ke posisi penyimpanannya seperti untuk treatment termination, dan tombol penunjuk INTERRUPTION menyala. Kondisi demikian memungkinkan pintu ruang radioterapi dibuka dan gantry diputar tanpa mengakibatkan console ke sistem malfungsi.
Selanjutnya radioterapi dapat dihentikan atau diteruskan. Radioterapi dapat dihentikan dengan menggunakan tombol termination atau mungkin diteruskan dengan mengubah power up key console seperempat putaran arah jarum jam (dari posisi "V ke posisi "treatment") dan tetap dalam posisi ini selama 1-2 detik (the "on Co60" indicator lights up) sebelum melepaskan kunci yang kemudian kembali keposisi I.
Ketika panel konsul dalam kondisi malfungsi, surnber dikembalikan secara otomatis kepenyimpanannya dan alarm berbunyi. Panel konsul akan mendeteksi malfungsi selama radioterapi berlangsung, jika:

  • Pintu ruang radioterapi dibuka.
  • Jika sumber meninggalkan posisinya lebih dari 0,1 menit penyinaran.
  • Gantry masuk/menuju putaran.
  • Waktu T2 melebihi Tl yang diset.

Perubahan Perlakuan Radioterapi
Bila panel konsul dalam kondisi treatment termination tomhol zero reset berkedip, tekan tombol ini kemudian T2 menghitung dalam model dipercepat ke waktu yang sesuai pada saat terjadi kesalahan. Hal ini untuk menguji kebenaran operasi terhadap rangkaiannya. Panel konsul berbunyi bip, lampu FAULT berkedip dalam waktu pendek dan T2 kembali ke nol. Kondisi demikian memungkinkan untuk memasukkan data radioterapi baru.

Sumber Berbalik dalam Kondisi Darurat
Selama radioterapi berlangsung dimungkinkan untuk memaksa sumber kembali ke posisi penyimpanan dengan menggunakan motor. Proses demikian dapat dilakukan dengan menekan tombol EMERGENCY. Tindakan ini selalu membawa panel konsul kembali kekondisi malfungsi. Penekanan tombol EMERGENCY ketika sumber di dalam penyimpanannya tidak akan membawa efek pada pesawat. C


[1] Radiografer pada Instalasi Radioterapi RS Persahabatan, Jakarta.
[2] Peneliti pada Pusat Kajian Radiografi dan Imajing, Jakarta (joeharry2000@yahoo.com)

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, Desember 11, 2007

Treatment Planning System

TREATMENT PLANNING SYSTEM
Arif Jauhari[1]



Pengertian dan Tujuan
Treatment Planning System atau dapat pula disebut dengan Sistim Perencanaan Radiasi merupakan suatu proses yang sistematik dalam membuat rencana strategi terapi radiasi. Meliputi sekumpulan instruksi dari prosedur radioterapi dan mengandung deskripsi fisik, serta distribusi dosis berdasar pada informasi geometrik/topografi yang ada pada pencitraan (imajing) agar terapi radiasi dapat diberikan secara tepat. TPS ini dalam tampilannya bisa 2D bisa juga 3D.
Tujuan sistem perencanaan radiasi 2D dan 3D adalah untuk menyesuaikan dosis pada volume target dan mengurangi dosis untuk jaringan normal atau organ beresiko yang ada disekitarnya. Hal ini meliputi : a). Posisi pasien terapi; b). Imobilisasi; c). Mengumpulkan data pencitraan pasien; c). Menetapkan volume target dan organ-organ beresiko berdasarkan kumpulan data bentuk-bentuk sinar yang didesain secara grafis dan orientasi sinar; d). Bentuk lapangan yang dipilih menggunakan BEV; e). Distribusi dosis 3 dimensi; f). Kalkulasi menggunakan algoritma tiga dimensi dan perbandingan informasi yang didapat dari Histogram Dosis Volume (DHV)

Komponen Treatment Planning System (TPS)
TPS terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu:

  1. Hardware. Komponen hardware terdiri dari CPU, High resolution graphics, mass storage (hard disc), disks/CD-ROM, keyboard & mouse, high resolution graphics monitor, digitizer, laser/color printer, backup storage facility, network connections.
  2. Software. Komponen software terdiri dari: Input routines, Bentuk dari anatomi, beam geometry (virtual simulation), kalkulasi dosis, dosis volume histogram, digital recontruction radiographic.
  3. Image Aquisition

Faktor yang Berperan pada TPS

Ada 2 faktor yang sangat berperan pada pembuatan TPS antara lain:
1. Simulasi atau lokalisasi daerah radiasi
Pelaksanaan simulasi ini dilakukan di ruang simulator, di sini seolah-olah pasien dilakukan radiasi. Untuk itu jarak sumber sinar ke kulit dan posisi pasien harus sama, baik itu di ruang simulator maupun diruang sinar/linac.
2. CT.Planning/CT Simulator
CT.Scan/CT.Planning penting untuk perencanaan terapi dan merupakan kebutuhan utama data imajing untuk 3 Dimention Radiation Therapy Treatment Planning (3D RTTP/Perencanaan Terapi Tiga Dimensi). Perencanaan CT Scan ádalah melokalisasi tumor dengan jumlah irisan yang sangat banyak dan ketebalan 2–10 mm. Semakin tipis irisan maka jumlah irisan akan semakin banyak dengan demikian kualitas pencitraan dapat meningkat.

Volume Untuk Perencanaan Tiga dimensi
Rincian bentuk tumor dan ukuran untuk GTV, struktur organ kritis dan CTV, PTV dilakukan oleh staf perencanaan terapi dan ahli onkologi radiasi. Struktur–struktur ditandai secara manual menggunakan sebuah mouse atau bentuk lain dari digitizer. Beberapa struktur dengan batasan yang jelas misalnya kulit dapat terkontur secara otomatis. Jika menggunakan piranti lunak yang modern maka pemberian tanda (kontur) membutuhkan waktu sekitar 1–2 jam untuk sebuah seri perencanaan terapi tiga dimensi secara lengkap.

Penyusunan Bentuk Berkas Sinar
Desain susunan sinar adalah langkah berikutnya dalam proses perencanaan terapi setelah CTV ditetapkan. Untuk perencanaan tiga dimensi, sistim 3D RTTP harus memiliki kemampuan untuk menstimulasikan masing–masing fungsi gerak dari peralatan mesin termasuk panjang, lebar, lebar kolimator, sudut gantri, sudut permukaan meja dan gerak meja ke lateral, longitudinal serta naik turunnya meja penyinaran.
1. Beam’s Eye View Display, menggunakan BEV maka dipilih:
· Arah sinar.
· Bentuk dan ukuran berkas sinar yang sesuai dengan bentuk dan ukuran tumor serta perlu tidaknya pelindung/shielding.
Pemilihan tersebut berdasar pada tujuan sasaran. Misalnya PTV yang homogen dengan keakuratan 5 % dari dosis total 60 Gy dan pada saat yang sama dosis sinar pada jaringan kritis seperti ginjal tidak lebih dari 20 Gy pada 50 % volumenya, dan tidak melebihi 40 Gy untuk medula spinalis.

2. Room View Display, Room View Display melengkapi BEV secara signifikan dalam fase desain sinar dari perencanaan terapi, khususnya dalam menempatkan kedalaman isosenter sinar dan memungkinkan tampilan sinar yang dipilih untuk tehnik membentuk terapi secara lebih baik, juga untuk melihat volume isodosis tiga dimensi. Room View Display mensimulasikan setiap lokasi pandang berdasar opini atau pendapat dalam ruang terapi.

3. Digitally Recontructed Radiograph (DRR), DRR adalah radiographi yang dikontruksi secara digital untuk memproyeksikan gambar yang dihasilkan komputer dan diperoleh dengan melalui sinar – sinar divergen secara matematis melalui suatu kumpulan data CT.

Kalkulasi Dosis / Distribusi Dosis
Metode kalkulasi dosis secara tradisional didasarkan pada parameter distribusi dosis yang diukur dalam Water Phantom dalam kondisi dibawah standar tertentu. Dengan adanya beberapa faktor koreksi:
· Permukaan kontur tidak rata
· Kemiringan oblique dari jaringan
· Heterogenitas jaringan
· Modifikasi sinar seperti: blok, wedge dan kompensator.

1. Homogenitas, Distribusi dosis pada target volume disebut homogen bila perbedaan antara dosis maksimum dan minimum tidak lebih dari 12 % , bentuk kurva isodosis pada daerah sasaran menunjukan gambaran yang merata.
2. Energi Radiasi, Energi radiasi juga sangat berperan dalam proses perencanaan radiasi terutama pada distribusi dosis. Bila energi yang dipilih tepat maka hasil kurva isodosis akan homogen.
3. Sudut Penyinaran/Gantry, Sudut penyinaran adalah sudut yang dibentuk oleh sinar dari arah 00, 900, 270 0, 1800 atau diantara 00 – 900, 900 – 1800, atau 00 – 2700, atau 2700 - 1800 terhadap tubuh pasien. Pada TPS menggunakan sudut untuk arah sinar adalah sangat membantu dalam menghindari organ kritis atau mengurangi dosis pada organ kritis.
4. Penggunaan Wedge dan Bolus, Wedge terbuat dari Pb bentuknya persegi panjang dengan bagian yang tebal akan meneruskan sinar dengan intenditas yang berkurang dibanding dengan bagian lain yang lebih tipis. Kegunaan wedge untuk menghindarkan hot spot atau kelebihan dosis disuatu tempat didaerah radiasi. Pada pesawat linac yang sekarang ini sudah dilengkapi dengan wedge yang terpasang dalam gantry pesawat tersebut dengan ukuran antara 20 – 590. Bolus terbuat dari parafin, yang mempunyai daya serap radiasi sama dengan jaringan lunak tubuh manusia. Fungsi dari bolus itu sendiri adalah untuk kompensator distribusi dosis misalnya apabila diperlukan untuk menaikan dosis dikulit atau dipermukaan. Dapat mengurangi dosis di paru pada pemakaian energi tinggi elektron misalnya 9–12 Mev.

Proses Terapi Radiasi

Quality Assurance ( QA )
Quality Assurance adalah sederetan prosedur tes yang dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu untuk menggambarkan aspek-aspek tehnik dari fungsi sistim atau subsistem.
Program QA secara umum salam radioterapi adalah penting dan bersifat mendasar. Tes ini harus dilakukan sebelum pelaksanaan klinik dan ini berhubungan dengan tes verifikasi algoritma tetapi bukan sebagai penggantinya.
Tujuannya menjamin bahwa hasil suatu perangkat lunak dapat diprediksi dengan benar, dan bahwa setiap alat perangkat keras digunakan dengan fungsi sistem yang benar dan menjamin bahwa prosedur-prosedur kualitas kontrol adalah adekuat, serta diaplikasikan pada sistem perencanaan terapi secara individual.
Akurasi, Dikatakan kalkulasi distribusi dosis pada komputer cukup akurat, jika dikalkulasi dalam koreksi 2 % atau 2 mm didalam posisi garis isodose. Akurasi ini diperlukan dalam QA yang sempurna.
Macam tes yang diperlukan,
1. Komisioning
Tes perangkat keras
a. Koreksi hasil pelaksanaan
b. Akurasi digitizer–ploter
c. Transver image CT yang dipercaya
Tes perangkat lunak
a. Kemampuan hal perubahan depth dose dan alat ukur out put dengan SSD dan area.
b. Akurasi algoritma sinar dalam bagai situasi normal di media homogen, permukaan oblique, media heterogen dan kalkulasi dalam axis.
c. Kemampuan memodifikasi sinar seperti wedge, blok asimetris jaws.
2. Cek Rutin
Harian:
a. Penggunaan set perencanaan terapi meliputi: situasi terapi, parameter sinar, penggunaan perencanaan terapi yang berbeda setiap hari/minggu
b. Cek konsistensi distribusi isodose, cek out put / input, akurasi kontur.
Mingguan:
a. Cek software dan hardware dalam proses pelaksanaan
b. Cek mesin set data
Bulanan :
a. Cek transfer data image CT ke sistem perencanaan.

Penutup
· Sistem perencanaan terapi radiasi tiga dimensi merupakan suatu proses sistematik dalam membuat rencana strategi radiasi yang memerlukan tehnik-tehnik komputer terkini dan melibatkan kerja sama berbagai disiplin ilmu terkait, serta memerlukan ketelitian yang tinggi untuk hasil yang maksimal.
· Adanya gambaran dosis pada histogram sebagai alat evaluasi atas keberhasilan perencanaan tersebut.
· Pada tumor yang disekitarnya terdapat organ sensitif resiko dapat diminimalis.

[1] Peneliti pada Pusat Kajian Radiografi dan Imajing, Puskaradim, Jakarta.

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, November 20, 2007

Study Evaluasi Kurva Karakteristik pada Film Mammografi Merk Kodak dan Konica dengan Menggunakan Larutan Prosessing Film Merk Agfa


Nunung Hasanah, Kurnia Pangestuti Utami

Abstract
This study conducted to compare the mammography film Kodak Min R 2000 and Konica New CM - H processed by using Agfa solution. The result in the form of characteristic curve with parameter of the basic fog, average gradient, gamma, contrast, speed, and latitude of both film. Basic Fog film of Kodak Min R 2000 smaller than Konica New CM- H, Average Gradient of Kodak Min R 2000 higher than film of Konica New CM-H, Gamma film of Kodak Min R 2000 higher than Konica New CM-H, Contrast at film of Kodak Min R 2000 higher than film of Konica New CM-H, At speed more pre-eminent at film of Camera of Min R 2000 than film of Konica New CM - H, while for the latitude of, film of Kodak of Min R 2000 lower compared to with the film of Konica New CM- H and for the density of maximum both film have the same value. The conclusion is Kodak Min R 2000 better than Konica New CM-H if processed by using Agfa solution.


Intisari
Studi ini dilakukan untuk membandingkan film mammografi merk KodakMin R 2000 dan Konica New CM – H yang diproses dengan menggunakan larutan merk Agfa, dari percobaan ini diperoleh hasil berupa kurva karakteristik. Dari kurva karakteristik tersebut, kita dapat menilai basic fog, average gradient, gamma, kontras, speed, dan latitude pada kedua merk film. Basic fog pada film Kodak Min R 2000 lebih kecil daripada Konica New CM- H, Average Gradient pada Kodak Min R 2000 lebih besar daripada film Konica New CM-H, Gamma pada film Kodak Min R 2000 lebih besar daripada Konica New CM-H, Kontras pada film Kodak Min R 2000 lebih tinggi daripada film Konica New CM-H, Pada speed atau kecepatan lebih unggul pada film Kodak Min R 2000 daripada film Konika New CM –H, sedangkan untuk latitude, film Kodak Min R 2000 lebih rendah dibanding dengan film Konica New CM- H dan untuk densitas maksimum[1] pada kedua merk film memiliki nilai yang sama. Berdasarkan hasil yang diperoleh film Kodak Min R 2000 lebih baik daripada KonIca New CM-H jika diproses dengan menggunakan larutan merk Agfa.

Kata Kunci: Kodak Min R 2000, Konica New CM-H, Kurva Karakteristik, Larutan Pemroses, Densitas.


A. Latar Belakang
Pada awal dilakukannya pemeriksaan mammografi yaitu menggunakan film dengan kaset non screen. Dengan menggunakan kaset non screen pada pemeriksaan mammografi, radiasi sinar-X yang setelah menembus obyek langsung menembus pada film tanpa melewati intensifying screen terlebih dahulu. Untuk mendapatkan gambaran dari mammae yang optimal dibutuhkan dosis radiasi yang tinggi. Namun kualitas gambar dari gambaran mamae yang dihasilkan rendah. Pada tahun 1970 diperkenalkan oleh perusahaan Du Pont dan Kodak yaitu penggunaan kombinasi film dan screen pada pemeriksaan mammografi. Film yang digunakan untuk pemeriksaan mammografi adalah film yang single emulsi dan kaset yang digunakan adalah kaset dengan single screen. Penggunaan jenis film tertentu memiliki tujuan untuk kualitas gambaran yang di harapkan agar dapat memberikan informasi mengenai keadaan suatu objek yang diperiksa, sehingga membantu proses tindakan medis selanjutnya berdasarkan klinis pemeriksaan. Mammografi merupakan pemeriksaan radiografi yang di lakukan secara khusus untuk mendeteksi keadaan patologi dari organ payudara. Penggunaan film pada mammografi berperan sebagai pencetak bayangan dengan adanya perpindahan informasi dari sumber sinar – x hingga hasil berupa gambaran sampai ke radiolog[2] .
Film mammografi yang berkembang saat ini sudah banyak, ditandai dengan merk-merk yang memproduksi film untuk mammografi. Tidak hanya film yang di produksi, namun juga larutan untuk memproses film tersebut. Pada tiap merk direkomendasikan untuk menggunakan jenis dan merk yang sama untuk mendapatkan hasil yang optimal. Sesuai dengan perkembangan film mammografi , penggunaanyapun kini semakin banyak di Rumah sakit maupun klinik.
Kenyataannya pada penggunaan film mammografi tidak diselaraskan dengan penggunaan larutan untuk memproses film di beberapa Rumah sakit maupun klinik. Tentunya dengan penggunaan yang demikian terdapat adanya perubahan dari karakteristik film yang digunakan dan mempengaruhi hasil gambaran.
Dengan demikian diperlukan adanya sebuah penilaian mengenai film mammografi dari merk tertentu dengan menggunakan larutan yang berbeda dari merk film. Penilaian tersebut dapat dilakukan salah satunya adalah penghitungan densitas[3] Penghitungan densitas ini dapat di pengaruhi banyak faktor salah satunya adalah penggunaan larutan yang digunakan untuk memproses film. Setiap merk memiliki perbedaan hasil gambaran yang terbentuk. Perbedaan karakter dari tiap masing–masing film dapat dilihat dari sebuah kurva yaitu kurva karakteristik.Untuk mendapatkan gambaran kurva karakteristik tersebut harus melalui sebuah proses monitoring yang di sebut Sensitometri. Pada kurva karakteristik film dapat ditemui informasi mengenai densitas film yang berpengaruh terhadap hasil gambaran. Sehingga didapat kontras[4], latitude[5] film, gradient rata-rata, dan densitas .


B. Metode, Alat dan Bahan
Pada studi ini film yang digunakan adalah film mammografi merk Kodak dan Konica. Film merk Kodak spesifikasinya adalah Kodak Min R 2000 dengan respon terhadap cahaya hijau (green sensitive), high speed, dan kadaluarsanya pada oktober 2008. Film mammografi merk Konica spesifikasinya adalah Konica New CM-H dengan respon terhadap cahaya hijau (green sensitive), high speed, dan kadaluarsanya pada Nopember 2008. Masing-masing dari film mammografi tersebut diambil 5 lembar film sebagai sampel dari tempat penyimpanan yang berbeda.
Dari sepuluh lembar film mammografi dites dengan menggunakan sensitometer elektrik yang memiliki step 21. Spesifikasi sensitometer elektrik ini adalah RMI SENSITOMETER dengan tipe S/N 334.016958 model 334 produksi X-Rite Incorporated Made in USA. Sensitometer milik BPFK ini diatur pada spektrum cahaya hijau, sesuai dengan jenis film yang di teliti. Masing – masing dari lembaran film Kodak MIN R 2000 dan Konica New CM-H di sinari dengan sensitometer dilakukan di kamar gelap yang suhunya 200 C dengan safelight berwarna merah. Saat di sinari pastikan film dalam keadaan rata karena mempengaruhi hasil penyinaran dan waktu yang diperlukan penyinaran untuk tiap lembaran film adalah 3 detik.
Proses selanjutnya dalam mendapatkan hasil kurva karakteristik adalah memproses film, kesepuluh lembaran film tersebut di proses pada hari yang sama untuk menghindari lamanya proses film yang mempengaruhi efek dari variabel film . Kelima film merk Kodak MIN R 2000 dan Konica New CM-H di proses menggunakan prosessor Agfa E.O.S , Developer[6] tipe 138 merk Agfa dan Fixer[7] tipe 334 merk Agfa.

Gambar 1. Kurva Karakteristik dari Kodak Min R 2000 dan Konika New CM-HTempat dilakukannya prosessing film di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta. Pengukuran pada kondisi suhu developer adalah 370 C. Semua film di proses secara berurutan. Pada proses ini didapatkan hasil lembaran film sensitometri dengan step-step densitas yang berjumlah 21, selanjutnya untuk mendapatkan nilai densitas dari film, diperlukan suatu alat yaitu Densitometer untuk mengukur densitas. Densitometer dengan spesifikasi X-Rite Company dengan tipe U.S Patent No. 080075 model 301 dan produksi USA.
Pada pengukuran densitas ini dilakukan 3 kali pada tiap stepnya yaitu daerah tepi kiri, tengah, dan tepi kanan. Penghitungan dilakukan hingga pada step terakhir yaitu step ke – 21. Setelah itu dari masing – masing step dirata-ratakan dengan menjumlah dari ketiga tepi dan dibagi tiga. Sehingga kesepuluh lembaran film tersebut di dapat satu nilai dari setiap stepnya, selanjutnya kelima film dari masing-masing merk dirata-ratakan kembali dengan menjumlahnya dan di bagi lima, berdasarkan penghitungan tersebut didapatkan data densitas pada tiap step, lalu setelah itu dibuat kurva karakteristik dengan nilai densitas sebagai sumbu Y dan log relatif eksposi sebagai sumbu X. Hasil yang didapat berupa kurva karakteristik dengan bentuk huruf S.Dari gambar kurva karakteristik tersebut diperoleh informasi mengenai basic fog[8], gamma, latitude, average gradient, speed, kontras, dan densitas maksimum.


C. Hasil




D. Analisis
Studi ini untuk menilai sebuah kurva karakteristik dari film mammografi merk Kodak Min R 2000 dan Konica New CM- H tertentu terhadap larutan prosessing dengan merk Agfa. Dengan adanya perbedaan jenis spesifikasi larutan maupun film yang digunakan memberikan pengaruh terhadap nilai dan informasi pada kurva. Berdasarkan kurva karateristik dapat dibagi menjadi tiga potongan atau lekukan di sebuah kurva karakteristik, Pada bagian Toe atau daerah tumit, daerah garis lurus (straight Line), dan daerah bahu ( Shoulder). Pada daerah Toe atau tumit terlihat 0,19 untuk film Kodak dan 0.20 untuk film Konica. Pada area thereshold daerah kenaikan dari nilai fog yang terlihat di Log relative eksposure 0.45 terjadi pada rentang densitas 0.25 untuk film Kodak Min R 2000, sedangkan untuk film Konica New CM-H area theresholod adalah menunjukkan Log relative eksposure 0.45 terjadi pada rentang densitas 0.29 selanjutnya adalah area Straight Line yang merupakan adanya perubahan densitas ditandai dengan kenaikan garis kurva.

Average gradien :
Rumus : Dy – Dx /Log E Dy – Log E Dx
Dy: Basic Fog + 2.00; Dx: Basic fog + 0.25
Log E Dy : Log E yang menghasilkan Dy; Log E Dx: Log E yang menghasilkan Dx
Gamma: 1/b – a
b: Nilai yang menghasilkan densitas 2; a: Nilai yang menghasilkan densitas 1
Film mammografi merk Konica New CM-H
Average gradien = Dy – Dx /Log E Dy – Log E Dx
= 2.20–0.45/1.96–1.03
= 1.75/0.93 = 1.9
Gamma = 1/1.42 – 0.97
= 1/0.45 = 2.22
Kontras = Dmax - D min
= 3.40 – 0.20
= 3.20
Speed = Log E yang menghasilkan densitas 1 = 1.44
Latitude = 1.75/Gradien Rata-rata
= 1.75/1.9 = 0.92
Film mammografi merk Kodak Min R 2000
Average gradien = Dy – Dx/Log E Dy – Log E Dx
= 2.19 – 0.44/1.27 – 0.67
= 1.75/0.6
= 2.9
Gamma = 1/1.20 – 0.92
= 1/0.3
= 3.33
Kontras = Dmax - D min
= 3.40 – 0.19
= 3.21
Speed = Log E yang menghasilkan densitas 1
= 0.92
Latitude = 1.75/Gradien Rata-rata
= 1.75/2.9
= 0.60
Di straight line ini terdapat informasi mengenai Kontras, Latitude, Average gradient, Gamma, dan Speed. Nilai kontras untuk film Kodak Min R 2000 adalah 3.21, dan untuk film Konica New CM-H adalah 3.20, nilai kontras ini dihasilkan dari pengurangan densitas maksimal dengan densitas minimum. Untuk latitude film yang menunjukkan rentang eksposi relatif yang akan menghasilkan densitas dalam rentang diagnostik. Latitude film pada film Kodak Min R 2000 adalah 0.60, dan untuk film Konica New CM-H adalah 0.92, nilai latitude film ini berbanding terbalik dengan average gradient. Average gardient sebagai penunjuk rata – rata gradien dari sebuah kurva. Average gradient pada film Kodak Min R 2000 menunjukkan pada angka 2,9 sedangkan untuk film Konica Nem CM-H adalah 1,9. Pada kurva karakteristik terdapat sudut yang di bentuk pada garis lurus (straight line) garis lurus. Besarnya gamma pada film Kodak Min R 2000 sebesar 3,3 sedangkan pada film Konica New CM-H adalah 2,2. Speed pada film Kodak Min R 2000 lebih cepat daripada film Konica New CM-H karena untuk mendapatkan densitas yang bernilai 1 dihasilkan relative eksposi 1,44 pada film Konica New CM-H sedangkan pada film Kodak Min R 2000 relative eksposi yang dibutuhkan adalah 0,92. Selanjutnya untuk daerah shoulder dikenal sebagai daerah over eksposi yang menunjukkan densitas maksimum berkisar antara 3,4 untuk film Kodak Min R 2000 sama dengan film Konica New CM-H . Dengan adanya hasil dari studi ini dapat dinilai bahwa perubahan larutan menunjukkan dapat di toleran dalam penggunaan untuk memproses film.

E. Penutup
Film mammografi merk Kodak Min R 2000 dan merk Konica New CM-H setelah di sensitometri, di prosesing menngunakan larutan dengan merk Agfa, di hitung densitas dan di analisa. Pada kurva karakteristiki dari kedua merk film tersebut merk Konica memiliki nilaki fog lebih tinggi daripada merk Kodak, densitas maksimum yang sama besarnya yaitu 3,40, namun speed yang dihasilkan pada film Konica lebih rendah dari film Kodak,Hal ini menunjukkan film Kodak memiliki toleransi lebih tinggi daripada film Konica terhadap larutan merk Agfa.

DAFTAR PUSTAKA
Ball, J., Price, T., (1990), Chesney’s Radiographic Imaging,5th ed., Blachwell Scientific Publication, London.
Bushong, C., (1984), Radiologic Science for Technologist Physics Biology and Protection, 3rd ed. , The CV Mosby Co., St. Louis.
Busberg, J.T., Seibert, A., Leidholdt, M.E., Boone, M.J., (2002), The Essential Physics of Medical Imaging , 2nd ed. , Philadelphia.
Carlton, R.R., Mc Kenna, A., (1992), Principles of Radiographic Imaging An Art and Scienc, Delmar Publisher Inc., New York.
Christensen, E.E., Curry, T., Nunnaly, J., ( 2002), Physics of Diagnostic Radiology, Lea & Febiger, Philadelpia.
Gunn, C., (2002), Radiographic Imajing A Practical Approach, Churchill, Livingstone, London.
Meredith, W.J. , Massey. J. B. , (1972), Fundamental Physic of Radiology, 2nd ed. , John Wright & Son Ltd. , Bristol.


[1] Nilai Derajat kehitaman yang terbesar
[2] Dokter Spesialis Radilogi yang membaca hasil foto rontgen
[3] Derajat kehitaman pada film
[4] Selisih nilai densitas maksimum dan minimum
[5] Rentang eksposi relatif yang akan menghasilkan densitas pada rentang diagnostik
[6] Larutan pembangkit untuk pembentukan gambaran laten pada film
[7] Larutan yang berfungsi sebagai pembentukan gambaran permanent pada film
[8] Densitas yang dicatat dari densitas yang terendah dari fog bawaan. C

[+/-] Selengkapnya...

Jumat, November 09, 2007

Teknik Radiografi Pasien Ngorok

TEKNIK RADIOGRAFI PADA KLINIS OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA (NGOROK)

Lufti Hajri, Arif Jauhari

Abstract
Obstructive Sleep Apnea or Ngorok is most common popular complaint about in Indonesia. It is an avoided situation for every ones. No method yet to give imaging diagnosis for this complaint. An experiment method used to help and solve this problem. By modification of sinus paranasalis projection i.e. two projection of Lateral Close Mouth and Lateral Open Mouth with pronunciation the letter “B “ found and visualized the anatomy pathology. The adjustment is with the central point of 2, 5 cm inferior sella tursica and central ray vertically with radiographic film.

Key words: Os Palate, Obstructive Sleep Apnea.


1. Latar Belakang.
Mendengkur merupakan suatu penyakit yang berdampak buruk baik bagi penderita maupun orang disekitarnya. Menurut data yang layak dipercaya, mendengkur diderita oleh satu dari lima orang dewasa. Penyebab mendengkur, kata Prof. Hendarto Hendarmin, dokter ahli THT di Jakarta, bermacam-macam. Bisa karena kelainan anatomi hidung (septum deviasi), adanya sumbatan oleh polip, atau alergi yang membuat selaput lendir membengkak sehingga penderita harus bernapas lewat mulut. Mendengkur bisa juga dialami anak-anak, biasanya akibat pembesaran amandel dan adenoid yang ada di belakang hidung.
[i]
Menurut Dr dr Suprihati MSc SpTHT yang menjadi Ketua Bagian THT FK Undip, berdasar penelitian di AS jumlah pria pendengkur lebih banyak yakni 40 persen dibanding wanita (28 persen). Tapi dalam perkembangannya, setelah dilakukan penelitian untuk kelompok umur 30 tahun ternyata wanita yang mendengkur lebih banyak yakni 60,28 persen sedangkan pria hanya 44 persen.
[ii]
Dengan membaca literatur yang ada tentang penanganan pasien penderita Obstructive Sleep Apnea, belum ditemukan suatu tindakan radiografi untuk klinis ini.[iii] Padahal tindakan radiografi ini dijadikan awal penanganan kasus untuk melihat seberapa parah pembesaran palatum yang menyebabkan tersumbatnya jalan napas penderita. Dan juga sebagai penentu untuk tindakan selanjutnya.

2. Sleep Apnea
2.1. Anatomi dan Fisiologi
Palatum merupakan langit-langit mulut yang merupakan sekat yang memisahkan rongga hidung dengan rongga mulut, terdiri atas bagian tulang yang keras di sebelah anterior dan bagian daging yang lunak di sebelah posterior.
[iv] Palatum Durum merupakan bagian anterior palatum, ditandai dengan kerangka tulang yang dilapisi oleh selaput lendir rongga hidung dibagian superior, dan pada permukaan oralnya oleh mukoperiosteum. Terdapat juga celah yang disebut Palatum Fissum. Palatum Molle bagian berdaging atap mulut, membentang dari tepi posterior palatum durum. Dari batas inferiornya yang bbas merupakan tonjolan uvula dengan panjang yang beragam. Yang disebut juga velum palatinum.
Palatum Osseum yaitu bagian tulang pada dua pertiga anterror langit-langit mulut, dibentuk oleh processus palatinus maxillae dan lempeng horizontal os palatinus. Disebut juga bony hard palate.


2.2. Patologi
Sleep Apnoe (Ngorok) merupakam gangguan pernapasan sewaktu tidur yang dapat menyebabkan Obstruksi Jalan Napas (Obstructive Sleep Apnoe/OSA). OSA adalah jenis Apnea waktu tidur yang paling umum OSA muncul ketika saluran pernafasan bagian atas mengalami sumbatan, meskipun upaya untuk bernafas terus berlanjut.Dimana pernapasan terhenti sementara (10 detik-2 menit), kemudian bernafas lagi dan inilah yang disebut Sleep Apnoe (Ngorok).[v] Sumbatan yang mengganggu jalan napas itu disebabkan oleh pembesaran lidah, palatum lunak ataupun dinding faring lateral. Selain itu bisa juga disebabkan abnormalitas tulang.

3. Metode
Untuk mendapatkan hasil gambaran yang dapat memperlihatkan kelainan pada pasien klinis sleep apnea diperlukan alat dan bahan serta tahapan sebagai berikut:
a. Alat dan Bahan
- Pesawat sinar-X
- Kaset ukuran 18 cm x 24 cm sebanyak 2 buah
- Film ukuran 18 cm x 24 cm sebanyak 2 buah
- Konus Diafragma
- Alat Processing Film
- Light Cash untuk evaluasi radiograf
b. Teknik Radiografi
Teknik Radiografi Os Palatum untuk diagnosis sleep apnea dilaksanakan dengan dua proyeksi, yaitu:
o Proyeksi Lateral Close Mouth
Pada proyeksi ini pasien diatur duduk menghadap bucky stand dan sedikit oblique sehingga kepala pasien true lateral. Atur Mid Sagital Plane (MSP) kepala pasien sejajar dengan film dan Interpupillary Line tegak lurus kaset. Pusatkan berkas sinar–X tegak lurus pada titik 2 cm inferior sella tursica. Jarak penyinaran yang digunakan sebesar 90 cm. Kemudian atur faktor eksposi 80 kV dan 12 mAs. Berkut ini adalah posisi pasien proyksi latelral close mouth.
o Proyeksi Lateral Open Mouth disertai mengucapkan huruf “B“


Untuk proyeksi ini pasien diminta mengucapkan huruf “B“. Pasien diatur duduk menghadap bucky stand dan sedikit oblique sehingga kepala pasien true lateral. Atur Mid Sagital Plane (MSP) kepala pasien sejajar dengan film dan Interpupillary Line tegak lurus kaset. Pusatkan berkas sinar-x tegak lurus 2 cm inferior sella tursica. Jarak penyinaran yang digunakan sebesar 90 cm. Kemudian atur faktor eksposi 80 kV dan 12 mAs. Tetapi sebelum disinar, instruksikan pasien agar mengucap huruf “B“.

4. Hasil dan Pembahasan
Dari dua proyeksi yang telah dilakukan maka didapatkan gambaran anatomi palatum. Selain itu juga telihat anatomi Cavitas Nasi, Palatum durum, palatum molle, Lingua dan Uvula. Agar gambaran anatomi tersebut dapat terlihat jelas maka gambaran yang dihasilkan juga harus optimal. Berikut ini adalah hasil gambaran yang dihasilkan dari dua proyeksi yang telah dilakukan.

Alasan penggunaan proyeksi Lateral Close Mouth dan Lateral Open Mouth disertai Mengucap “ B “, dikarenakan kedua proyeksi ini sudah cukup memberikan informasi diagnostik yang diperlukan, sehingga dokter spesialis THT sudah dapat menilai kelainan yang dialami penderita, Adapun proyeksi Lateral Close Mouth adalah untuk melihat anatomi dari Os Palatum secara umum. Sedangkan proyeksi Lateral Open Mouth disertai Mengucap Huruf “ B “ adalah untuk, melihat Palatum Mole yang bergerak naik sehingga mempersempit jalan napas. Dengan demikian kelainan nanatomi dari palatum pasien dapat didiagnosis.

5. Diskusi
Dari uraian di atas maka ditarik kesimpulan bahwa Mendengkur disebabkan oleh penyempitan saluran napas. Dan sangat berhubungan dengan anatomi palatum pasien. Sehingga sebagai penunjang untuk mendiagnosa kelainan ini maka dilaksanakan pemeriksaan Radiografi Os Palatum. Dengan pemeriksaan ini dapat terlihat kelainan dari anatomi palatum mole pasien dan menentukan seberapa parah kelainan ini mengganggu saluran napas pasien. Bagi orang yang sering tidur mendengkur di sarankan untuk melakukan pemeriksaan radiografi ini.

Daftar Pustaka
[i] http://www.kompas.com/kesehatan/news/0312/31/070001.htm
[ii] http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0704/28/dar4.htm
[iii] Walker, R P. Snooring and obstructive sleep apnea. In Bailey BJ, ed. Hesd and Neck Surgery- Otolaryngology . Philadelphia : Lippincott-Raven,1998
[iv] Chaudary BA. Obstructive Sleep Apnoe.Resident and staff Physician 44 (9) 21-34, Philadelphia : 1998 Sep
[v] http://www.kompas.com/kesehatan/news/0312/31/070001.htm C

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, November 08, 2007

Teknik Radiografi Gigi

kTEKNIK PELETAKAN FILM PADA PEMERIKSAAN INSISIVUS ATAS

Oleh: Linda Evans, Arif Jauhari

Abstract
Dental examination, especially the upper incisors is done by holding and forcing the outer dental film surface. This condition feel annoy and uncomfortable for patient even radiographer who assist the film position in the mouth or moreover if he also expose that procedure. We made a new position and condition for solving that problem. By biting the upper end side of the dental film (peak point side) by patient themselves, we found that the result (radiographic dental image) is suitable for diagnosing of the incisors. We asked the dentists to evaluate and analyses the film criteria (between the old compared with the new method). The result, the new method is able to visualize the criteria of the insisivus and suitable for insisivus examination.

Keywords: upper incisors, dental examination, holding and forcing, peak point.

1. Pendahuluan

Radiologi merupakan salah satu unit penunjang medis yang berfungsi sebagai alat penegak diagnosis berbagai jenis penyakit, termasuk gigi geligi yang dapat ditinjau melalui pemeriksaan radiografi dental. Pada pemeriksaan radiografi gigi geligi peran pasien sangat berpengaruh terhadap hasil gambaran yang akan didapat, karena pasien diminta untuk memegang film dental dan menekannya sehingga posisi film dental menempel pada gigi dan gusi yang akan diperiksa. Dengan teknik pemeriksaan seperti ini akan terjadi kemungkinan untuk bergesernya posisi film dental dan mengakibatkan hasil gambaran yang tidak dapat dipakai sebagai alat penunjang diagnosis, sehingga terjadilah pengulangan. Selain itu juga ada beberapa kendala yang dapat menambah resiko pengulangan, seperti pada pasien yang hipersensitif, radang pada gusi (ginggivitis) atau pada pasien yang bentuk anatomi giginya abnormal. Oleh sebab itu radiografer dituntut untuk menambah bersikap inovatif dalam memilih teknik yang dapat memudahkan pemeriksaan dan pasienpun menjadi nyaman saat dilakukannya pemeriksaan.
Pada umumnya pemeriksaan dental, khususnya insisivus atas dilakukan dengan teknik pasien memegang dan menekan salah satu sisi film dental disekitar gigi dan gusi insisivus yang akan diperiksa dengan bantuan ibu jari pasien. Penulis melakukan inovasi dengan cara meletakkan film dental diselipkan diantara insisivus atas dan bawah atau dengan kata lain film digigit, sehingga pasien tidak perlu untuk memegang dan menekan film dental dengan ibu jarinya.

2. Metode

Untuk mendapatkan hasil penelitian ini diperlukan dengan beberapa kriteia, yaitu:
a. Alat dan Bahan
- Film dental ukuran 3 x 4 cm.
- Larutan develover dan fixer dalam wadah yang berukuran kecil
- Pesawat radiografi gigi.
b. Cara Kerja
Pelaksanaan yang pertama dengan teknik pasien menekan film dental pada daerah gigi dan gusi yang akan diperiksa, dan yang kedua dengan cara menyelipkan fim dental diantara gigi insisivus atas dan bawah atau film digigit.


Pertama, pasien diposisikan duduk di kursi pemeriksaan dengan kepala menghadap tabung sinar-x, kepala pasien diatur sedikit fleksi sehingga garis khayal yang ditarik dari achantion ke MAE sejajar dengan lantai, film dental dimasukan ke dalam mulut pasien dengan sisi non timbal menghadap tube. Setelah itu dilakukan cara yaitu peletakan film diselipkan diantara gigi insisivus atas dan bawah atau film digigit pasien dan kemudian cara kedua yaitu peletakkan film dental menempel pada daerah gigi dan gusi dengan bantuan ibu jari pasien. Center ray (pusat sinar) diarahkan vertical angulasi, center point (titik sinar) nya sama yaitu 600 caudali pada tip of nose, dengan faktor eksposi 50 kV ; 7,7 mA ; 1 secon. Setelah selesai pemeriksaan, kedua film dibawa ke kamar gelap untuk diproses.


c. Penilaian
Dilakukan survey gambar hasil kepada dua puluh dokter gigi terhadap delapan foto hasil gambaran dari dua teknik peletakkan film yang berbeda. Parameter numerik penilaian yaitu apabila kriterianya mencakup baik mendapat nilai 75, cukup akan dinilai 50 dan apabila kurang mendapat 25. sebagai evaluasi kriteria penilaian adalah kriteria evaluasi radiografi gigi yaitu corona, corpus, radiks dan pulpa dentis pada dental insisivus atas.

3. Pembahasan

Dari hasil kuisioner pada 20 orang dokter gigi terhadap masing-masing 8 buah hasil foto dental. Pada film digigit menghasilkan nilai 68,44% dan pada film ditempel menghasilkan nilai 69,70%. Sehingga evalusi pada aspek daerah corona didapatkan hasil sedikit lebih bagus dengan cara film ditempel.
Pada evaluasi daerah corpus, pada film digigit menghasilkan nilai 65,31% dan pada film ditempel menghasilkan nilai 61,89%, sehingga hasil corpus yang didapatkan lebih bagus dengan cara film digigit.
Tentang daerah evaluasi radix didapatkan kesimpulan, pada film digigit menghasilkan nilai 66,25% dan pada film ditempel menghasilkan nilai 65,31%, sehingga hasil radix yang didapatkan sedikit lebih bagus dengan cara film digigit.
Kriteria evaluasi akhir dari gigi yaitu daerah pulpa dentis didapatkan pada film digigit menghasilkan nilai 63,75% dan pada film ditempel menghasilkan nilai 65,63%, sehingga untuk kriteria ini hasil pulpa yang didapatkan lebih bagus dengan cara film ditempel.


Dengan demikian berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa hasil foto yang digigit menunjukkan nilai persentasi yang relatif sama dengan hasil foto yang ditempel. Hal ini menunjukkan bahwa hasil foto yang digigit (metode baru) menghasilkan tingkat diagnosis yang relatif sama dengan yang ditempel (metode sekarang). Dengan mengingat dari segi kenyamanan pasien, pasien lebih merasa nyaman dengan menggunakan teknik film digigit dibandingkan dengan menggunakan film ditempel.

Oleh sebab itu teknik peletakkan film dental dengan cara film digigit dapat juga dijadikan sebagai teknik alternatif oleh petugas radiologi didalam melakukan pemeriksaan dental insisivus atas khususnya untuk menghadapi paien yang hipersensitif dan kurang kooperatif.


4. Penutup

Terdapat beberapa kesimpulan dari metode baru yang telah dilakukan bila dibandingkan dengan metode sekarang untuk pemeriksaan insisivus atas, yaitu: Hasil gambaran dengan metode baru dapat dipakai sebagai alternatif penatalaksanaan pasien dalam pemeriksaan gigi insisivus atas.
Pada pemeriksaan dengan metode baru, pasien merasa lebih nyaman dengan menggunakan teknik peletakkan film dental dengan cara digigit antara gigi insisivus atas dan insisivus bawah dibandingkan dengan cara lama dengan pasien harus menekan film dental dengan ibu jarinya.
Dengan melihat hasil keseluruhan dari penelitian yang telah dilakukan, maka disarankan agar teknik peletakkan film dental dengan cara film digigit diantara gigi insisivus atas dan insisivus bawah ini dapat dijadikan teknik alternatif untuk melakukan pemeriksaan dental insisivus atas. Apalagi bila dilihat dari segi kemudahan dan kenyamanan pasien, khususnya bagi pasien yang kurang kooperatif. Dengan demikian diharapkan pemeriksaan tidak sering diulang dan tanpa harus mengurang kualitas hasil gambaran.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Clark, K.C., (1974), Positioning Radiography. Volume 2. Churchill Livingstone, London.
  2. Fong, E., et al., (1980), Body Structures and Functions. 6th ed. Delmar Publishing Inc., Boston.
  3. Hoxter, E.A., (1978), Teknik Pemotretan Rontgen. Hlm 129, EGC, Jakarta.
  4. Kahe, W., dkk, (1999), Atlas Berwarna dan Teks Anatomi Manusia Alat- Alat Dalam. Jilid 2. edisi 6 yang direvisi. Hipocrates. Jakarta.
  5. Dean, M.R.E., (1975), Basic Anatomy and Physiology for Radiographers, 2nd edition, Blackwell Scentific Publ., Oxford.
  6. Merriel, V., (2002), Atlas of Rontgenography Posisition and Standard Radiologic Prosedures. Volume 2. 4th Edition. Mosby Co., Philadelphia.
  7. Itjninngsih W.H., (1989), Anatomi Gigi. EGC, Jakarta.
  8. White, S.C., (2000), Oral Radiology Principle and Interpretation. 5th Edition. Mosby Co., Philadelphia. ©

[+/-] Selengkapnya...