Selasa, November 20, 2007

Study Evaluasi Kurva Karakteristik pada Film Mammografi Merk Kodak dan Konica dengan Menggunakan Larutan Prosessing Film Merk Agfa


Nunung Hasanah, Kurnia Pangestuti Utami

Abstract
This study conducted to compare the mammography film Kodak Min R 2000 and Konica New CM - H processed by using Agfa solution. The result in the form of characteristic curve with parameter of the basic fog, average gradient, gamma, contrast, speed, and latitude of both film. Basic Fog film of Kodak Min R 2000 smaller than Konica New CM- H, Average Gradient of Kodak Min R 2000 higher than film of Konica New CM-H, Gamma film of Kodak Min R 2000 higher than Konica New CM-H, Contrast at film of Kodak Min R 2000 higher than film of Konica New CM-H, At speed more pre-eminent at film of Camera of Min R 2000 than film of Konica New CM - H, while for the latitude of, film of Kodak of Min R 2000 lower compared to with the film of Konica New CM- H and for the density of maximum both film have the same value. The conclusion is Kodak Min R 2000 better than Konica New CM-H if processed by using Agfa solution.


Intisari
Studi ini dilakukan untuk membandingkan film mammografi merk KodakMin R 2000 dan Konica New CM – H yang diproses dengan menggunakan larutan merk Agfa, dari percobaan ini diperoleh hasil berupa kurva karakteristik. Dari kurva karakteristik tersebut, kita dapat menilai basic fog, average gradient, gamma, kontras, speed, dan latitude pada kedua merk film. Basic fog pada film Kodak Min R 2000 lebih kecil daripada Konica New CM- H, Average Gradient pada Kodak Min R 2000 lebih besar daripada film Konica New CM-H, Gamma pada film Kodak Min R 2000 lebih besar daripada Konica New CM-H, Kontras pada film Kodak Min R 2000 lebih tinggi daripada film Konica New CM-H, Pada speed atau kecepatan lebih unggul pada film Kodak Min R 2000 daripada film Konika New CM –H, sedangkan untuk latitude, film Kodak Min R 2000 lebih rendah dibanding dengan film Konica New CM- H dan untuk densitas maksimum[1] pada kedua merk film memiliki nilai yang sama. Berdasarkan hasil yang diperoleh film Kodak Min R 2000 lebih baik daripada KonIca New CM-H jika diproses dengan menggunakan larutan merk Agfa.

Kata Kunci: Kodak Min R 2000, Konica New CM-H, Kurva Karakteristik, Larutan Pemroses, Densitas.


A. Latar Belakang
Pada awal dilakukannya pemeriksaan mammografi yaitu menggunakan film dengan kaset non screen. Dengan menggunakan kaset non screen pada pemeriksaan mammografi, radiasi sinar-X yang setelah menembus obyek langsung menembus pada film tanpa melewati intensifying screen terlebih dahulu. Untuk mendapatkan gambaran dari mammae yang optimal dibutuhkan dosis radiasi yang tinggi. Namun kualitas gambar dari gambaran mamae yang dihasilkan rendah. Pada tahun 1970 diperkenalkan oleh perusahaan Du Pont dan Kodak yaitu penggunaan kombinasi film dan screen pada pemeriksaan mammografi. Film yang digunakan untuk pemeriksaan mammografi adalah film yang single emulsi dan kaset yang digunakan adalah kaset dengan single screen. Penggunaan jenis film tertentu memiliki tujuan untuk kualitas gambaran yang di harapkan agar dapat memberikan informasi mengenai keadaan suatu objek yang diperiksa, sehingga membantu proses tindakan medis selanjutnya berdasarkan klinis pemeriksaan. Mammografi merupakan pemeriksaan radiografi yang di lakukan secara khusus untuk mendeteksi keadaan patologi dari organ payudara. Penggunaan film pada mammografi berperan sebagai pencetak bayangan dengan adanya perpindahan informasi dari sumber sinar – x hingga hasil berupa gambaran sampai ke radiolog[2] .
Film mammografi yang berkembang saat ini sudah banyak, ditandai dengan merk-merk yang memproduksi film untuk mammografi. Tidak hanya film yang di produksi, namun juga larutan untuk memproses film tersebut. Pada tiap merk direkomendasikan untuk menggunakan jenis dan merk yang sama untuk mendapatkan hasil yang optimal. Sesuai dengan perkembangan film mammografi , penggunaanyapun kini semakin banyak di Rumah sakit maupun klinik.
Kenyataannya pada penggunaan film mammografi tidak diselaraskan dengan penggunaan larutan untuk memproses film di beberapa Rumah sakit maupun klinik. Tentunya dengan penggunaan yang demikian terdapat adanya perubahan dari karakteristik film yang digunakan dan mempengaruhi hasil gambaran.
Dengan demikian diperlukan adanya sebuah penilaian mengenai film mammografi dari merk tertentu dengan menggunakan larutan yang berbeda dari merk film. Penilaian tersebut dapat dilakukan salah satunya adalah penghitungan densitas[3] Penghitungan densitas ini dapat di pengaruhi banyak faktor salah satunya adalah penggunaan larutan yang digunakan untuk memproses film. Setiap merk memiliki perbedaan hasil gambaran yang terbentuk. Perbedaan karakter dari tiap masing–masing film dapat dilihat dari sebuah kurva yaitu kurva karakteristik.Untuk mendapatkan gambaran kurva karakteristik tersebut harus melalui sebuah proses monitoring yang di sebut Sensitometri. Pada kurva karakteristik film dapat ditemui informasi mengenai densitas film yang berpengaruh terhadap hasil gambaran. Sehingga didapat kontras[4], latitude[5] film, gradient rata-rata, dan densitas .


B. Metode, Alat dan Bahan
Pada studi ini film yang digunakan adalah film mammografi merk Kodak dan Konica. Film merk Kodak spesifikasinya adalah Kodak Min R 2000 dengan respon terhadap cahaya hijau (green sensitive), high speed, dan kadaluarsanya pada oktober 2008. Film mammografi merk Konica spesifikasinya adalah Konica New CM-H dengan respon terhadap cahaya hijau (green sensitive), high speed, dan kadaluarsanya pada Nopember 2008. Masing-masing dari film mammografi tersebut diambil 5 lembar film sebagai sampel dari tempat penyimpanan yang berbeda.
Dari sepuluh lembar film mammografi dites dengan menggunakan sensitometer elektrik yang memiliki step 21. Spesifikasi sensitometer elektrik ini adalah RMI SENSITOMETER dengan tipe S/N 334.016958 model 334 produksi X-Rite Incorporated Made in USA. Sensitometer milik BPFK ini diatur pada spektrum cahaya hijau, sesuai dengan jenis film yang di teliti. Masing – masing dari lembaran film Kodak MIN R 2000 dan Konica New CM-H di sinari dengan sensitometer dilakukan di kamar gelap yang suhunya 200 C dengan safelight berwarna merah. Saat di sinari pastikan film dalam keadaan rata karena mempengaruhi hasil penyinaran dan waktu yang diperlukan penyinaran untuk tiap lembaran film adalah 3 detik.
Proses selanjutnya dalam mendapatkan hasil kurva karakteristik adalah memproses film, kesepuluh lembaran film tersebut di proses pada hari yang sama untuk menghindari lamanya proses film yang mempengaruhi efek dari variabel film . Kelima film merk Kodak MIN R 2000 dan Konica New CM-H di proses menggunakan prosessor Agfa E.O.S , Developer[6] tipe 138 merk Agfa dan Fixer[7] tipe 334 merk Agfa.

Gambar 1. Kurva Karakteristik dari Kodak Min R 2000 dan Konika New CM-HTempat dilakukannya prosessing film di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta. Pengukuran pada kondisi suhu developer adalah 370 C. Semua film di proses secara berurutan. Pada proses ini didapatkan hasil lembaran film sensitometri dengan step-step densitas yang berjumlah 21, selanjutnya untuk mendapatkan nilai densitas dari film, diperlukan suatu alat yaitu Densitometer untuk mengukur densitas. Densitometer dengan spesifikasi X-Rite Company dengan tipe U.S Patent No. 080075 model 301 dan produksi USA.
Pada pengukuran densitas ini dilakukan 3 kali pada tiap stepnya yaitu daerah tepi kiri, tengah, dan tepi kanan. Penghitungan dilakukan hingga pada step terakhir yaitu step ke – 21. Setelah itu dari masing – masing step dirata-ratakan dengan menjumlah dari ketiga tepi dan dibagi tiga. Sehingga kesepuluh lembaran film tersebut di dapat satu nilai dari setiap stepnya, selanjutnya kelima film dari masing-masing merk dirata-ratakan kembali dengan menjumlahnya dan di bagi lima, berdasarkan penghitungan tersebut didapatkan data densitas pada tiap step, lalu setelah itu dibuat kurva karakteristik dengan nilai densitas sebagai sumbu Y dan log relatif eksposi sebagai sumbu X. Hasil yang didapat berupa kurva karakteristik dengan bentuk huruf S.Dari gambar kurva karakteristik tersebut diperoleh informasi mengenai basic fog[8], gamma, latitude, average gradient, speed, kontras, dan densitas maksimum.


C. Hasil




D. Analisis
Studi ini untuk menilai sebuah kurva karakteristik dari film mammografi merk Kodak Min R 2000 dan Konica New CM- H tertentu terhadap larutan prosessing dengan merk Agfa. Dengan adanya perbedaan jenis spesifikasi larutan maupun film yang digunakan memberikan pengaruh terhadap nilai dan informasi pada kurva. Berdasarkan kurva karateristik dapat dibagi menjadi tiga potongan atau lekukan di sebuah kurva karakteristik, Pada bagian Toe atau daerah tumit, daerah garis lurus (straight Line), dan daerah bahu ( Shoulder). Pada daerah Toe atau tumit terlihat 0,19 untuk film Kodak dan 0.20 untuk film Konica. Pada area thereshold daerah kenaikan dari nilai fog yang terlihat di Log relative eksposure 0.45 terjadi pada rentang densitas 0.25 untuk film Kodak Min R 2000, sedangkan untuk film Konica New CM-H area theresholod adalah menunjukkan Log relative eksposure 0.45 terjadi pada rentang densitas 0.29 selanjutnya adalah area Straight Line yang merupakan adanya perubahan densitas ditandai dengan kenaikan garis kurva.

Average gradien :
Rumus : Dy – Dx /Log E Dy – Log E Dx
Dy: Basic Fog + 2.00; Dx: Basic fog + 0.25
Log E Dy : Log E yang menghasilkan Dy; Log E Dx: Log E yang menghasilkan Dx
Gamma: 1/b – a
b: Nilai yang menghasilkan densitas 2; a: Nilai yang menghasilkan densitas 1
Film mammografi merk Konica New CM-H
Average gradien = Dy – Dx /Log E Dy – Log E Dx
= 2.20–0.45/1.96–1.03
= 1.75/0.93 = 1.9
Gamma = 1/1.42 – 0.97
= 1/0.45 = 2.22
Kontras = Dmax - D min
= 3.40 – 0.20
= 3.20
Speed = Log E yang menghasilkan densitas 1 = 1.44
Latitude = 1.75/Gradien Rata-rata
= 1.75/1.9 = 0.92
Film mammografi merk Kodak Min R 2000
Average gradien = Dy – Dx/Log E Dy – Log E Dx
= 2.19 – 0.44/1.27 – 0.67
= 1.75/0.6
= 2.9
Gamma = 1/1.20 – 0.92
= 1/0.3
= 3.33
Kontras = Dmax - D min
= 3.40 – 0.19
= 3.21
Speed = Log E yang menghasilkan densitas 1
= 0.92
Latitude = 1.75/Gradien Rata-rata
= 1.75/2.9
= 0.60
Di straight line ini terdapat informasi mengenai Kontras, Latitude, Average gradient, Gamma, dan Speed. Nilai kontras untuk film Kodak Min R 2000 adalah 3.21, dan untuk film Konica New CM-H adalah 3.20, nilai kontras ini dihasilkan dari pengurangan densitas maksimal dengan densitas minimum. Untuk latitude film yang menunjukkan rentang eksposi relatif yang akan menghasilkan densitas dalam rentang diagnostik. Latitude film pada film Kodak Min R 2000 adalah 0.60, dan untuk film Konica New CM-H adalah 0.92, nilai latitude film ini berbanding terbalik dengan average gradient. Average gardient sebagai penunjuk rata – rata gradien dari sebuah kurva. Average gradient pada film Kodak Min R 2000 menunjukkan pada angka 2,9 sedangkan untuk film Konica Nem CM-H adalah 1,9. Pada kurva karakteristik terdapat sudut yang di bentuk pada garis lurus (straight line) garis lurus. Besarnya gamma pada film Kodak Min R 2000 sebesar 3,3 sedangkan pada film Konica New CM-H adalah 2,2. Speed pada film Kodak Min R 2000 lebih cepat daripada film Konica New CM-H karena untuk mendapatkan densitas yang bernilai 1 dihasilkan relative eksposi 1,44 pada film Konica New CM-H sedangkan pada film Kodak Min R 2000 relative eksposi yang dibutuhkan adalah 0,92. Selanjutnya untuk daerah shoulder dikenal sebagai daerah over eksposi yang menunjukkan densitas maksimum berkisar antara 3,4 untuk film Kodak Min R 2000 sama dengan film Konica New CM-H . Dengan adanya hasil dari studi ini dapat dinilai bahwa perubahan larutan menunjukkan dapat di toleran dalam penggunaan untuk memproses film.

E. Penutup
Film mammografi merk Kodak Min R 2000 dan merk Konica New CM-H setelah di sensitometri, di prosesing menngunakan larutan dengan merk Agfa, di hitung densitas dan di analisa. Pada kurva karakteristiki dari kedua merk film tersebut merk Konica memiliki nilaki fog lebih tinggi daripada merk Kodak, densitas maksimum yang sama besarnya yaitu 3,40, namun speed yang dihasilkan pada film Konica lebih rendah dari film Kodak,Hal ini menunjukkan film Kodak memiliki toleransi lebih tinggi daripada film Konica terhadap larutan merk Agfa.

DAFTAR PUSTAKA
Ball, J., Price, T., (1990), Chesney’s Radiographic Imaging,5th ed., Blachwell Scientific Publication, London.
Bushong, C., (1984), Radiologic Science for Technologist Physics Biology and Protection, 3rd ed. , The CV Mosby Co., St. Louis.
Busberg, J.T., Seibert, A., Leidholdt, M.E., Boone, M.J., (2002), The Essential Physics of Medical Imaging , 2nd ed. , Philadelphia.
Carlton, R.R., Mc Kenna, A., (1992), Principles of Radiographic Imaging An Art and Scienc, Delmar Publisher Inc., New York.
Christensen, E.E., Curry, T., Nunnaly, J., ( 2002), Physics of Diagnostic Radiology, Lea & Febiger, Philadelpia.
Gunn, C., (2002), Radiographic Imajing A Practical Approach, Churchill, Livingstone, London.
Meredith, W.J. , Massey. J. B. , (1972), Fundamental Physic of Radiology, 2nd ed. , John Wright & Son Ltd. , Bristol.


[1] Nilai Derajat kehitaman yang terbesar
[2] Dokter Spesialis Radilogi yang membaca hasil foto rontgen
[3] Derajat kehitaman pada film
[4] Selisih nilai densitas maksimum dan minimum
[5] Rentang eksposi relatif yang akan menghasilkan densitas pada rentang diagnostik
[6] Larutan pembangkit untuk pembentukan gambaran laten pada film
[7] Larutan yang berfungsi sebagai pembentukan gambaran permanent pada film
[8] Densitas yang dicatat dari densitas yang terendah dari fog bawaan. C

[+/-] Selengkapnya...

Jumat, November 09, 2007

Teknik Radiografi Pasien Ngorok

TEKNIK RADIOGRAFI PADA KLINIS OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA (NGOROK)

Lufti Hajri, Arif Jauhari

Abstract
Obstructive Sleep Apnea or Ngorok is most common popular complaint about in Indonesia. It is an avoided situation for every ones. No method yet to give imaging diagnosis for this complaint. An experiment method used to help and solve this problem. By modification of sinus paranasalis projection i.e. two projection of Lateral Close Mouth and Lateral Open Mouth with pronunciation the letter “B “ found and visualized the anatomy pathology. The adjustment is with the central point of 2, 5 cm inferior sella tursica and central ray vertically with radiographic film.

Key words: Os Palate, Obstructive Sleep Apnea.


1. Latar Belakang.
Mendengkur merupakan suatu penyakit yang berdampak buruk baik bagi penderita maupun orang disekitarnya. Menurut data yang layak dipercaya, mendengkur diderita oleh satu dari lima orang dewasa. Penyebab mendengkur, kata Prof. Hendarto Hendarmin, dokter ahli THT di Jakarta, bermacam-macam. Bisa karena kelainan anatomi hidung (septum deviasi), adanya sumbatan oleh polip, atau alergi yang membuat selaput lendir membengkak sehingga penderita harus bernapas lewat mulut. Mendengkur bisa juga dialami anak-anak, biasanya akibat pembesaran amandel dan adenoid yang ada di belakang hidung.
[i]
Menurut Dr dr Suprihati MSc SpTHT yang menjadi Ketua Bagian THT FK Undip, berdasar penelitian di AS jumlah pria pendengkur lebih banyak yakni 40 persen dibanding wanita (28 persen). Tapi dalam perkembangannya, setelah dilakukan penelitian untuk kelompok umur 30 tahun ternyata wanita yang mendengkur lebih banyak yakni 60,28 persen sedangkan pria hanya 44 persen.
[ii]
Dengan membaca literatur yang ada tentang penanganan pasien penderita Obstructive Sleep Apnea, belum ditemukan suatu tindakan radiografi untuk klinis ini.[iii] Padahal tindakan radiografi ini dijadikan awal penanganan kasus untuk melihat seberapa parah pembesaran palatum yang menyebabkan tersumbatnya jalan napas penderita. Dan juga sebagai penentu untuk tindakan selanjutnya.

2. Sleep Apnea
2.1. Anatomi dan Fisiologi
Palatum merupakan langit-langit mulut yang merupakan sekat yang memisahkan rongga hidung dengan rongga mulut, terdiri atas bagian tulang yang keras di sebelah anterior dan bagian daging yang lunak di sebelah posterior.
[iv] Palatum Durum merupakan bagian anterior palatum, ditandai dengan kerangka tulang yang dilapisi oleh selaput lendir rongga hidung dibagian superior, dan pada permukaan oralnya oleh mukoperiosteum. Terdapat juga celah yang disebut Palatum Fissum. Palatum Molle bagian berdaging atap mulut, membentang dari tepi posterior palatum durum. Dari batas inferiornya yang bbas merupakan tonjolan uvula dengan panjang yang beragam. Yang disebut juga velum palatinum.
Palatum Osseum yaitu bagian tulang pada dua pertiga anterror langit-langit mulut, dibentuk oleh processus palatinus maxillae dan lempeng horizontal os palatinus. Disebut juga bony hard palate.


2.2. Patologi
Sleep Apnoe (Ngorok) merupakam gangguan pernapasan sewaktu tidur yang dapat menyebabkan Obstruksi Jalan Napas (Obstructive Sleep Apnoe/OSA). OSA adalah jenis Apnea waktu tidur yang paling umum OSA muncul ketika saluran pernafasan bagian atas mengalami sumbatan, meskipun upaya untuk bernafas terus berlanjut.Dimana pernapasan terhenti sementara (10 detik-2 menit), kemudian bernafas lagi dan inilah yang disebut Sleep Apnoe (Ngorok).[v] Sumbatan yang mengganggu jalan napas itu disebabkan oleh pembesaran lidah, palatum lunak ataupun dinding faring lateral. Selain itu bisa juga disebabkan abnormalitas tulang.

3. Metode
Untuk mendapatkan hasil gambaran yang dapat memperlihatkan kelainan pada pasien klinis sleep apnea diperlukan alat dan bahan serta tahapan sebagai berikut:
a. Alat dan Bahan
- Pesawat sinar-X
- Kaset ukuran 18 cm x 24 cm sebanyak 2 buah
- Film ukuran 18 cm x 24 cm sebanyak 2 buah
- Konus Diafragma
- Alat Processing Film
- Light Cash untuk evaluasi radiograf
b. Teknik Radiografi
Teknik Radiografi Os Palatum untuk diagnosis sleep apnea dilaksanakan dengan dua proyeksi, yaitu:
o Proyeksi Lateral Close Mouth
Pada proyeksi ini pasien diatur duduk menghadap bucky stand dan sedikit oblique sehingga kepala pasien true lateral. Atur Mid Sagital Plane (MSP) kepala pasien sejajar dengan film dan Interpupillary Line tegak lurus kaset. Pusatkan berkas sinar–X tegak lurus pada titik 2 cm inferior sella tursica. Jarak penyinaran yang digunakan sebesar 90 cm. Kemudian atur faktor eksposi 80 kV dan 12 mAs. Berkut ini adalah posisi pasien proyksi latelral close mouth.
o Proyeksi Lateral Open Mouth disertai mengucapkan huruf “B“


Untuk proyeksi ini pasien diminta mengucapkan huruf “B“. Pasien diatur duduk menghadap bucky stand dan sedikit oblique sehingga kepala pasien true lateral. Atur Mid Sagital Plane (MSP) kepala pasien sejajar dengan film dan Interpupillary Line tegak lurus kaset. Pusatkan berkas sinar-x tegak lurus 2 cm inferior sella tursica. Jarak penyinaran yang digunakan sebesar 90 cm. Kemudian atur faktor eksposi 80 kV dan 12 mAs. Tetapi sebelum disinar, instruksikan pasien agar mengucap huruf “B“.

4. Hasil dan Pembahasan
Dari dua proyeksi yang telah dilakukan maka didapatkan gambaran anatomi palatum. Selain itu juga telihat anatomi Cavitas Nasi, Palatum durum, palatum molle, Lingua dan Uvula. Agar gambaran anatomi tersebut dapat terlihat jelas maka gambaran yang dihasilkan juga harus optimal. Berikut ini adalah hasil gambaran yang dihasilkan dari dua proyeksi yang telah dilakukan.

Alasan penggunaan proyeksi Lateral Close Mouth dan Lateral Open Mouth disertai Mengucap “ B “, dikarenakan kedua proyeksi ini sudah cukup memberikan informasi diagnostik yang diperlukan, sehingga dokter spesialis THT sudah dapat menilai kelainan yang dialami penderita, Adapun proyeksi Lateral Close Mouth adalah untuk melihat anatomi dari Os Palatum secara umum. Sedangkan proyeksi Lateral Open Mouth disertai Mengucap Huruf “ B “ adalah untuk, melihat Palatum Mole yang bergerak naik sehingga mempersempit jalan napas. Dengan demikian kelainan nanatomi dari palatum pasien dapat didiagnosis.

5. Diskusi
Dari uraian di atas maka ditarik kesimpulan bahwa Mendengkur disebabkan oleh penyempitan saluran napas. Dan sangat berhubungan dengan anatomi palatum pasien. Sehingga sebagai penunjang untuk mendiagnosa kelainan ini maka dilaksanakan pemeriksaan Radiografi Os Palatum. Dengan pemeriksaan ini dapat terlihat kelainan dari anatomi palatum mole pasien dan menentukan seberapa parah kelainan ini mengganggu saluran napas pasien. Bagi orang yang sering tidur mendengkur di sarankan untuk melakukan pemeriksaan radiografi ini.

Daftar Pustaka
[i] http://www.kompas.com/kesehatan/news/0312/31/070001.htm
[ii] http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0704/28/dar4.htm
[iii] Walker, R P. Snooring and obstructive sleep apnea. In Bailey BJ, ed. Hesd and Neck Surgery- Otolaryngology . Philadelphia : Lippincott-Raven,1998
[iv] Chaudary BA. Obstructive Sleep Apnoe.Resident and staff Physician 44 (9) 21-34, Philadelphia : 1998 Sep
[v] http://www.kompas.com/kesehatan/news/0312/31/070001.htm C

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, November 08, 2007

Teknik Radiografi Gigi

kTEKNIK PELETAKAN FILM PADA PEMERIKSAAN INSISIVUS ATAS

Oleh: Linda Evans, Arif Jauhari

Abstract
Dental examination, especially the upper incisors is done by holding and forcing the outer dental film surface. This condition feel annoy and uncomfortable for patient even radiographer who assist the film position in the mouth or moreover if he also expose that procedure. We made a new position and condition for solving that problem. By biting the upper end side of the dental film (peak point side) by patient themselves, we found that the result (radiographic dental image) is suitable for diagnosing of the incisors. We asked the dentists to evaluate and analyses the film criteria (between the old compared with the new method). The result, the new method is able to visualize the criteria of the insisivus and suitable for insisivus examination.

Keywords: upper incisors, dental examination, holding and forcing, peak point.

1. Pendahuluan

Radiologi merupakan salah satu unit penunjang medis yang berfungsi sebagai alat penegak diagnosis berbagai jenis penyakit, termasuk gigi geligi yang dapat ditinjau melalui pemeriksaan radiografi dental. Pada pemeriksaan radiografi gigi geligi peran pasien sangat berpengaruh terhadap hasil gambaran yang akan didapat, karena pasien diminta untuk memegang film dental dan menekannya sehingga posisi film dental menempel pada gigi dan gusi yang akan diperiksa. Dengan teknik pemeriksaan seperti ini akan terjadi kemungkinan untuk bergesernya posisi film dental dan mengakibatkan hasil gambaran yang tidak dapat dipakai sebagai alat penunjang diagnosis, sehingga terjadilah pengulangan. Selain itu juga ada beberapa kendala yang dapat menambah resiko pengulangan, seperti pada pasien yang hipersensitif, radang pada gusi (ginggivitis) atau pada pasien yang bentuk anatomi giginya abnormal. Oleh sebab itu radiografer dituntut untuk menambah bersikap inovatif dalam memilih teknik yang dapat memudahkan pemeriksaan dan pasienpun menjadi nyaman saat dilakukannya pemeriksaan.
Pada umumnya pemeriksaan dental, khususnya insisivus atas dilakukan dengan teknik pasien memegang dan menekan salah satu sisi film dental disekitar gigi dan gusi insisivus yang akan diperiksa dengan bantuan ibu jari pasien. Penulis melakukan inovasi dengan cara meletakkan film dental diselipkan diantara insisivus atas dan bawah atau dengan kata lain film digigit, sehingga pasien tidak perlu untuk memegang dan menekan film dental dengan ibu jarinya.

2. Metode

Untuk mendapatkan hasil penelitian ini diperlukan dengan beberapa kriteia, yaitu:
a. Alat dan Bahan
- Film dental ukuran 3 x 4 cm.
- Larutan develover dan fixer dalam wadah yang berukuran kecil
- Pesawat radiografi gigi.
b. Cara Kerja
Pelaksanaan yang pertama dengan teknik pasien menekan film dental pada daerah gigi dan gusi yang akan diperiksa, dan yang kedua dengan cara menyelipkan fim dental diantara gigi insisivus atas dan bawah atau film digigit.


Pertama, pasien diposisikan duduk di kursi pemeriksaan dengan kepala menghadap tabung sinar-x, kepala pasien diatur sedikit fleksi sehingga garis khayal yang ditarik dari achantion ke MAE sejajar dengan lantai, film dental dimasukan ke dalam mulut pasien dengan sisi non timbal menghadap tube. Setelah itu dilakukan cara yaitu peletakan film diselipkan diantara gigi insisivus atas dan bawah atau film digigit pasien dan kemudian cara kedua yaitu peletakkan film dental menempel pada daerah gigi dan gusi dengan bantuan ibu jari pasien. Center ray (pusat sinar) diarahkan vertical angulasi, center point (titik sinar) nya sama yaitu 600 caudali pada tip of nose, dengan faktor eksposi 50 kV ; 7,7 mA ; 1 secon. Setelah selesai pemeriksaan, kedua film dibawa ke kamar gelap untuk diproses.


c. Penilaian
Dilakukan survey gambar hasil kepada dua puluh dokter gigi terhadap delapan foto hasil gambaran dari dua teknik peletakkan film yang berbeda. Parameter numerik penilaian yaitu apabila kriterianya mencakup baik mendapat nilai 75, cukup akan dinilai 50 dan apabila kurang mendapat 25. sebagai evaluasi kriteria penilaian adalah kriteria evaluasi radiografi gigi yaitu corona, corpus, radiks dan pulpa dentis pada dental insisivus atas.

3. Pembahasan

Dari hasil kuisioner pada 20 orang dokter gigi terhadap masing-masing 8 buah hasil foto dental. Pada film digigit menghasilkan nilai 68,44% dan pada film ditempel menghasilkan nilai 69,70%. Sehingga evalusi pada aspek daerah corona didapatkan hasil sedikit lebih bagus dengan cara film ditempel.
Pada evaluasi daerah corpus, pada film digigit menghasilkan nilai 65,31% dan pada film ditempel menghasilkan nilai 61,89%, sehingga hasil corpus yang didapatkan lebih bagus dengan cara film digigit.
Tentang daerah evaluasi radix didapatkan kesimpulan, pada film digigit menghasilkan nilai 66,25% dan pada film ditempel menghasilkan nilai 65,31%, sehingga hasil radix yang didapatkan sedikit lebih bagus dengan cara film digigit.
Kriteria evaluasi akhir dari gigi yaitu daerah pulpa dentis didapatkan pada film digigit menghasilkan nilai 63,75% dan pada film ditempel menghasilkan nilai 65,63%, sehingga untuk kriteria ini hasil pulpa yang didapatkan lebih bagus dengan cara film ditempel.


Dengan demikian berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa hasil foto yang digigit menunjukkan nilai persentasi yang relatif sama dengan hasil foto yang ditempel. Hal ini menunjukkan bahwa hasil foto yang digigit (metode baru) menghasilkan tingkat diagnosis yang relatif sama dengan yang ditempel (metode sekarang). Dengan mengingat dari segi kenyamanan pasien, pasien lebih merasa nyaman dengan menggunakan teknik film digigit dibandingkan dengan menggunakan film ditempel.

Oleh sebab itu teknik peletakkan film dental dengan cara film digigit dapat juga dijadikan sebagai teknik alternatif oleh petugas radiologi didalam melakukan pemeriksaan dental insisivus atas khususnya untuk menghadapi paien yang hipersensitif dan kurang kooperatif.


4. Penutup

Terdapat beberapa kesimpulan dari metode baru yang telah dilakukan bila dibandingkan dengan metode sekarang untuk pemeriksaan insisivus atas, yaitu: Hasil gambaran dengan metode baru dapat dipakai sebagai alternatif penatalaksanaan pasien dalam pemeriksaan gigi insisivus atas.
Pada pemeriksaan dengan metode baru, pasien merasa lebih nyaman dengan menggunakan teknik peletakkan film dental dengan cara digigit antara gigi insisivus atas dan insisivus bawah dibandingkan dengan cara lama dengan pasien harus menekan film dental dengan ibu jarinya.
Dengan melihat hasil keseluruhan dari penelitian yang telah dilakukan, maka disarankan agar teknik peletakkan film dental dengan cara film digigit diantara gigi insisivus atas dan insisivus bawah ini dapat dijadikan teknik alternatif untuk melakukan pemeriksaan dental insisivus atas. Apalagi bila dilihat dari segi kemudahan dan kenyamanan pasien, khususnya bagi pasien yang kurang kooperatif. Dengan demikian diharapkan pemeriksaan tidak sering diulang dan tanpa harus mengurang kualitas hasil gambaran.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Clark, K.C., (1974), Positioning Radiography. Volume 2. Churchill Livingstone, London.
  2. Fong, E., et al., (1980), Body Structures and Functions. 6th ed. Delmar Publishing Inc., Boston.
  3. Hoxter, E.A., (1978), Teknik Pemotretan Rontgen. Hlm 129, EGC, Jakarta.
  4. Kahe, W., dkk, (1999), Atlas Berwarna dan Teks Anatomi Manusia Alat- Alat Dalam. Jilid 2. edisi 6 yang direvisi. Hipocrates. Jakarta.
  5. Dean, M.R.E., (1975), Basic Anatomy and Physiology for Radiographers, 2nd edition, Blackwell Scentific Publ., Oxford.
  6. Merriel, V., (2002), Atlas of Rontgenography Posisition and Standard Radiologic Prosedures. Volume 2. 4th Edition. Mosby Co., Philadelphia.
  7. Itjninngsih W.H., (1989), Anatomi Gigi. EGC, Jakarta.
  8. White, S.C., (2000), Oral Radiology Principle and Interpretation. 5th Edition. Mosby Co., Philadelphia. ©

[+/-] Selengkapnya...